BERLEMAH-LEMBUTLAH DALAM BERDAKWAH!
Oleh: Abdullah Zaen, Lc, MA
KHUTBAH PERTAMA:
إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ”.
“يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً”.
“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً”.
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
Jama’ah Jum’at rahimakumullah…
Mari kita tingkatkan ketaqwaan kepada Allah ta’ala dengan ketaqwaan yang sebenar-benarnya; yaitu mengamalkan apa yang diperintahkan oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu’alaihiwasallam serta menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu’alaihiwasallam.
Jama’ah Jum’at yang semoga dimuliakan Allah…
Suatu hari seseorang menemui khalifah Hârûn ar-Rasyîd rahimahullâh seraya berkata, “Wahai Hârûn, aku hendak berbicara kepadamu dengan keras, karena aku ingin menasehatimu!”. Maka Hârûn ar-Rasyîd pun menjawab, “Wahai fulan, aku tidak sudi mendengar perkataanmu; sebab aku tidaklah lebih jahat daripada Fir’aun, dan engkaupun tidak lebih baik dari Mûsâ u. Sedangkan Allah ta’âlâ telah memerintahkan Mûsâ untuk bertutur dengan lemah lembut kepada Fir’aun!”[1].
Ya, Allah ta’âlâ telah berwasiat kepada Nabi Mûsâ dan Nabi Hârûn ‘alaihimassalâm tatkala akan mendatangi salah satu pionir terbesar kekufuran; raja Fir’aun yang lalim, yang telah tercatat dalam Lauhul Mahfuzh bahwa ia akan mati di atas kekufuran,
“فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى”.
Artinya: “Berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS. Thâhâ: 44)[2].
Sikap lemah lembut memiliki dampak yang begitu besar dalam meluluhkan hati orang yang kita dakwahi, sehingga mudah menerima apa yang kita sampaikan. Kebalikannya: sikap kasar dan keras akan menjadikan orang lari dari kita dan enggan menerima nasehat yang disampaikan, walaupun dia adalah orang yang memiliki tingkat keimanan tinggi sekaliber para sahabat Nabi shallallahu’alaihiwasallam sekalipun! Lalu bagaimana dengan mayoritas orang awam di zaman kita yang tingkat keimanan dan kesiapannya menerima dakwah jauh di bawah para sahabat?
Allah ta’ala mengingatkan Nabi-Nya shallallahu’alaihiwasallam,
“فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ”
Artinya: “Dikarenakan rahmat dari Allah-lah, engkau (wahai Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka (para sahabat). Seandainya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”. QS. Ali Imran: 159.
Sebegitu vital dan urgennya sifat ini dalam diri seorang da’i, sampai-sampai orang yang tidak memiliki karakter tersebut tidak berhak untuk beramar makruf nahi munkar!
Imâm Sufyân ats-Tsaurî rahimahullâh berpetuah,
“لاَ يَأْمُرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَلاَ يَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ إِلاَّ مَنْ كَانَ فِيْهِ خِصَالٌ ثَلاَثٌ: رَفِيْقٌ بِمَا يَأْمُرُ، رَفِيْقٌ بِمَا يَنْهَى، عَدْلٌ بِمَا يَأْمُرُ، عَدْلٌ بِمَا يَنْهَى، عَالِمٌ بِمَا يَأْمُرُ، عَالِمٌ بِمَا يَنْهَى”.
“Tidaklah boleh beramar ma’ruf dan nahi mungkar kecuali seseorang yang memiliki tiga sifat: (1) Lemah lembut ketika menyuruh dan melarang, (2) Adil ketika menyuruh dan melarang, serta (3) Memiliki ilmu tentang apa yang ia suruh dan larang”[3].
Jama’ah Jum’at yang kami hormati
Syaikh al-’Allâmah Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullâh bercerita, “Dikisahkan bahwa dahulu ada seorang pemuda amat bersemangat untuk beramar ma’ruf nahi mungkar. Suatu sore dia mendapatkan seorang penggembala onta sedang menggiring gembalaannya sambil berdendang, agar onta-ontanya bersemangat untuk berjalan, padahal saat itu muadzin tengah mengumandangkan adzan Maghrib. Maka sang pemuda menghardik penggembala itu dengan keras, namun si penggembala tidak mempedulikan teguran pemuda tersebut, bahkan terkesan menantang dan terus berdendang.
Maka pergilah pemuda itu ke seorang ulama untuk melaporkan kejadian tersebut.
Keesokan harinya, ulama tadi mendatangi tempat si penggembala pada waktu serupa. Ketika adzan Maghrib dikumandangkan, beliau berkata dengan santun dan lemah lembut kepada si penggembala, “Wahai saudaraku, adzan Maghrib telah dikumandangkan, hendaknya engkau segera menunaikan shalat, karena Allah ta’âlâ telah berfirman (yang artinya): “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki padamu. Dan ganjaran (yang baik) adalah bagi orang yang bertakwa”. QS. Thâhâ: 132.
Maka si penggembala tersebut menjawab, “Jazâkallah khairâ“. Kemudian dia segera meletakkan cemetinya, lalu berwudhu dan pergi ke masjid beserta sang ulama tadi[4].
Apa gerangan kunci keberhasilan dakwah sang ulama dan sebab ‘kegagalan’ dakwah si pemuda di atas? Sikap lembut sang ulama dan sikap kasar si pemuda! “Memang sikap lemah lembut akan mendorong orang lain untuk menerima kita dan dakwah Allah ini”[5].
أقول قولي هذا، وأستغفر الله لي ولكم ولجميع المسلمين والمسلمات، فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.
KHUTBAH KEDUA:
الحمد لله حمداً كثيراً طيباً مباركاً فيه، كما يحب ربنا ويرضى، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، له الحمد في الآخرة والأولى، وأشهد أن سيدنا ونبينا محمداً عبده ورسوله، الرسولُ المصطفى والنبي المجتبى، صلى الله عليه وعلى آله الأصفياء، وأصحابِه الأتقياء، والتابعين ومن تبعهم بإحسان وسار على نهجه واقتفى.
Jama’ah Jum’at rahimakumullah…
Di akhir khutbah ringkas ini, kami sampaikan dua poin yang dipandang berkaitan erat dengan pembahasan di atas dan sering terjadi kesalahpahaman di dalamnya.
Poin pertama: Berlemah lembut bukan berarti dengan menghanyutkan diri dalam ritual-ritual kesyirikan atau meramaikan acara-acara bid’ah, sebagaimana yang dipraktekkan oleh sebagian ‘juru dakwah’.
Apapun alasannya, perilaku di atas tidak bisa dibenarkan, kecuali jika tujuan menghadiri ritual dan acara tersebut adalah untuk mengingkari kemungkaran itu.
Jika ada yang berdalih, bahwasanya bid’ah tersebut baik, inilah jawabannya: membuat suatu bentuk ibadah yang tidak ada tuntunannya dari al-Qur’an dan Hadits lalu memandangnya sebagai hal yang baik, sama saja membuat syariat baru. Sebagaimana ditegaskan Imam Syafi’i,
“مَنْ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ”.
“Barang siapa menganggap baik suatu perbuatan (ibadah yang tidak ada tuntunannya); sesungguhnya ia telah membuat syariat (baru)”[6].
Namun kita harus membedakan antara hanyut meramaikan acara-acara bid’ah dengan melihat bid’ah dalam keadaan hati tetap mengingkarinya, dan mengundur pengingkaran secara lisan terhadap bid’ah tersebut hingga saatnya yang tepat. Sikap kedua ini justru termasuk praktek hikmah dalam berdakwah!
Imam Ibn al-Qayyim dan Syaikh ‘Utsaimîn menjelaskan perumpamaan orang yang bertahap dalam mengingkari kemungkaran, “Orang yang mengingkari kemungkaran ibarat seorang dokter. Jika ada seorang dokter yang mengobati borok dengan cara langsung mengiris untuk menghilangkan seluruh borok yang ada; mungkin justru akan mengakibatkan luka yang lebih parah. Namun, jika sang dokter mengobati borok tersebut secara bertahap sedikit demi sedikit, dengan penuh kesabaran menahan diri dengan mencium bau tidak sedap yang menyeruak, niscaya si pasien akan sembuh”[7].
Poin kedua: Perintah berlemah lembut dalam berdakwah dan beramar makruf nahi mungkar tidak menafikan bolehnya bersikap keras pada beberapa kesempatan, karena Nabi shallallahu’alaihiwasallam pun pernah bersikap keras[8].
Hanya saja perlu diingat bahwa hukum asal cara berdakwah adalah dengan lemah lembut, bukan dengan kekerasan! Oleh karena itu jangan dibalik, dengan menjadikan hukum asalnya adalah dengan kekerasan, dan terkadang memakai cara lemah lembut!
Imâm Ibn al-Wazîr rahimahullâh menjelaskan, “Tidak diragukan lagi bahwa yang paling dominan di dalam kitab-kitab (suci yang Allah turunkan) dari langit serta di dalam sikap-sikap Nabi r adalah sifat ramah, lemah lembut dan kasih sayang”[9].
Syaikh Rabî’ bin Hâdî al-Madkhalî hafizhahullâh menyampaikan keterangan serupa, “Hukum asal dalam berdakwah adalah dengan menggunakan sikap lemah lembut, halus dan hikmah. Inilah hukum asalnya. Namun, jika engkau mendapati orang yang keras kepala, tidak mau menerima al-haq, padahal engkau telah menegakkan hujjah atasnya, dan ia tetap menolak; pada saat seperti itu engkau boleh menggunakan bantahan”[10].
Oleh karena itu, jika seorang da’i dihadapkan pada suatu kondisi di mana orang yang dihadapinya ketika disikapi dengan lembut atau dengan keras, pengaruhnya seimbang, maka dia harus memilih sikap lembut, sesuai perintah untuk kembali ke hukum asal. Hal ini telah dijelaskan Syaikh al-’Allâmah Muhammad al-‘Utsaimîn rahimahullâh, ”Jika di dalam sikap kasar dan keras ada maslahatnya, gunakanlah sikap tersebut. Namun jika kenyataannya adalah sebaliknya, maka gunakanlah sikap lembut dan halus. Adapun jika kondisinya sama antara bersikap kasar dan keras dengan bersikap lembut dan halus; saat itu gunakanlah sikap lembut dan halus; karena Nabi r bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan mencintai kelembutan dalam setiap perkara”. [HR. Bukhârî dan Muslim]”[11].
ألا وصلوا وسلموا -رحمكم الله- على الهادي البشير، والسراج المنير، كما أمركم بذلك اللطيف الخبير؛ فقال في محكم التنـزيل: “إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً”.
اللهم صل على محمد وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد, اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد.
ربنا ظلمنا أنفسنا وإن لم تغفر لنا وترحمنا لنكونن من الخاسرين
ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رؤوف رحيم
ربنا لا تزغ قلوبنا بعد إذ هديتنا وهب لنا من لدنك رحمة إنك أنت الوهاب
ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين
وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين. أقيموا الصلاة…
@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 28 Muharram 1432 / 3 Januari 2011
[1] Lihat: Al-Muntazham fî Târîkh al-Mulûk wa al-Umam karya Ibn al-Jauzî (VIII/328) dan Târîkh ath-Thabarî (VIII/358-359).
[2] Lihat dalil-dalil lain yang menghasung untuk bersikap lemah lembut ketika berdakwah dalam: Min Shifât ad-Dâ’iyah al-Lîn wa ar-Rifq karya Dr. Fadhl Ilâhî (hal. 11-31).
[3] Lihat: Al-Amr bi al-Ma’rûf wa an-Nahy ‘an al-Munkar karya Imâm Abû Bakr al-Khallâl (hal. 41).
[4] Diterjemahkan secara bebas dari Kitâb al-‘Ilm (hal.103-104).
[5] Lemah Lembut, makalah Ust. Abû Usâmah bin Râwiyah an-Nawawî, dalam Majalah asy-Syarî’ah no. 02/1/Sya’ban 1424 H/September 2003 (hal. 49).
[6] Al-Mankhûl karya al-Ghazali, hal. 374, Jam’u al-Jawâmi’ karya al-Mahalli, sebagaimana dalam ‘Ilm Ushûl al-Bida’ karya Ali Hasan al-Halabi, hal. 121.
[7] Liqâ’ al-Bâb al-Maftûh-2 (II/16 -dalam al-Maktabah asy-Syâmilah).
[8] Lihat: Fatâwâ asy-Syaikh al-Albânî (hal. 133-134) sebagaimana dalam Kaifa Nu’âlij Wâqi’anâ al-Alîm oleh Ali bin Husain Abû Lûz (hal.177-178).
[9] Al-‘Awâshim wa al-Qawâshim (I/172).
[10] Al-Hats ‘alâ al-Mawaddah (hal. 38).
[11] Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 199).